Sore itu, suasana di dalam mobil terasa tenang. Jalanan lengang, langit berwarna jingga keemasan. Ayah menyetir dengan santai, sesekali melirik ke arah anak laki-lakinya yang duduk di samping. Anak itu diam, memandangi jalan sambil memutar-mutar tutup botol minumnya. Ibu duduk di kursi belakang, tersenyum melihat kebersamaan keduanya.
Tiba-tiba sang anak bertanya,
“Yah, kalau pahala dan dosa seseorang seimbang... dia masuk surga atau neraka?”
Ayah menoleh sebentar, lalu tersenyum.
“Nak, saat hisab nanti, hanya Allah yang tahu. Pahala dan dosa itu nggak bisa kita hitung pakai logika manusia.”
Anak itu menatap ke depan lagi, termenung.
Ayah melanjutkan, “Nabi pernah cerita. Ada seseorang yang masuk surga hanya karena dia memindahkan batu dari jalan. Orang itu nggak pikir macam-macam, dia cuma pengin orang lain bisa lewat dengan aman.”
“Jadi... cuma mindahin batu?” tanya si anak heran.
“Iya. Tapi batu itu memudahkan orang lain. Kebaikan kecil, tapi besar di mata Allah. Karena niatnya tulus, dan manfaatnya nyata.”
Anak itu mengangguk pelan.
Ayah tersenyum lagi, “Tadi pagi kamu sempat ngambek, inget nggak?
Anak itu menunduk. “Inget, Yah…”
“Waktu kamu ngambek, Ayah dan Ibu marah nggak?” tanya Ayah.
“Nggak…”
“Justru kita ajak kamu jalan-jalan, terus dibelikan mainan.”
Anak itu tersenyum malu.
“Itu karena Ayah dan Ibu sayang sama kamu. Walaupun kamu kadang nyebelin, kami tetap sayang.”
Ibu dari belakang ikut berkata, “Kasih sayang orang tua itu besar, Nak. Apalagi kasih sayang Allah… jauh lebih besar, tak terbandingkan.”
Ayah mengangguk, “Allah tuh nggak seperti manusia. Kasih sayangnya nggak bisa diukur logika. Tapi satu hal pasti—semakin kamu cinta Allah, semakin besar cinta Allah ke kamu.”
Anak itu menatap ayahnya dan berkata, “Aku mau sayang terus sama Allah.”
Ayah tersenyum hangat. “Itu yang paling penting. Teruslah berbuat baik, sekecil apapun. Karena bisa jadi, hal kecil itu yang mengantarmu ke surga.”
Komentar
Posting Komentar